Jalur trans-Sulawesi, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, kerap menjadi daerah persinggahan para lelaki hidung belang, khususnya sopir truk, baik yang setiap hari lalu lalang atau yang hendak menuju Sulawesi Barat maupun yang akan ke Kota Makassar. Tak heran, dari tahun ke tahun, rumah remang-remang di kabupaten yang kaya hasil tambak tersebut terus menjamur, bahkan semakin luas.
Bahkan, berdasarkan pantauan Kompas.com, hampir di setiap kecamatan yang berada di jalur trans-Sulawesi tersebut terdapat lokalisasi, seperti di Kecamatan Mallusetasi, Barru, dan Tanete Riaja. Tercatat 54 warung dan kafe yang terindikasi melakukan praktik tersebut.
Para pekerja seks komersial (PSK) di antaranya berasal dari Kabupaten Bantaeng, Takalar, Pinrang, Tana Toraja, Bulukumba, dan Makassar. Ada juga PSK yang berasal dari sejumlah kabupaten di Sulawesi Barat.
Menjamurnya rumah remang-remang menjadi pemicu semakin tingginya jumlah PSK yang beraksi di Kabupaten Barru. Darwisa, salah seorang pemilik kafe plus di Desa Kupa, Kecamatan Mallustasi, kepada Kompas(dot)com mengatakan, kebanyakan lelaki hidung belang yang sudah menjadi pelanggan tetap kafe plus miliknya adalah sopir truk, baik yang dari maupun hendak ke Makassar.
"Kami memang ada pelayanan khusus untuk para sopir truk. Biasanya mereka transaksi sembari ngopi. Kami menyediakan kamar untuk mereka dengan biaya sewa Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per malam. Bayaran pelayannya ditentukan oleh pelayannya sendiri," katanya tanpa sungkan.
Sistem kerja PSK, kata Darwisa, pada umumnya tidak pernah menetap lama di satu warung remang-remang. Biasanya mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tergantung ramainya pengunjung.
Darwisa mengaku, warung kopi ataupun kafe yang tidak menyediakan pelayanan khusus dengan pelayanan yang bisa diajak transaksi hingga ke dalam kamar, biasanya sepi pengunjung.
"Di daerah sini, kalau tidak ada pelayanan plusnya, tidak akan laku. Sebab, pengunjung yang memang didominasi laki-laki, selain ngopi atau makan, juga selalu mencari wanita penghibur untuk diajak tidur," paparnya.
Meski kerap di-obok-obok petugas kepolisian maupun aparatur pemerintahan, yang tidak bosan melakukan razia PSK, seakan tak ada efek jera yang ditimbulkan, baik bagi para penjaja seks maupun pemilik rumah remang-remang. Malah dalam beberapa tahun terakhir, praktik prostitusi di daerah tersebut terus mengalami peningkatan.
Bahkan, belum lama ini Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Barru mengaku kesulitan membebaskan Kabupaten Barru dari PSK kendati Bupati Barru H Ndi Idris Syukur tahun ini sudah mencanangkan Barru Bebas PSK.
"Kami akui kesulitan mengatasi PSK di Barru. Namun, ini akan menjadi PR buat kami. Paling tidak, kami akan berupaya meminimalisasi munculnya praktik-praktik prostitusi dari warung remang-remang yang ada," papar Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Nasriah Majid.
Bahkan, berdasarkan pantauan Kompas.com, hampir di setiap kecamatan yang berada di jalur trans-Sulawesi tersebut terdapat lokalisasi, seperti di Kecamatan Mallusetasi, Barru, dan Tanete Riaja. Tercatat 54 warung dan kafe yang terindikasi melakukan praktik tersebut.
Para pekerja seks komersial (PSK) di antaranya berasal dari Kabupaten Bantaeng, Takalar, Pinrang, Tana Toraja, Bulukumba, dan Makassar. Ada juga PSK yang berasal dari sejumlah kabupaten di Sulawesi Barat.
Menjamurnya rumah remang-remang menjadi pemicu semakin tingginya jumlah PSK yang beraksi di Kabupaten Barru. Darwisa, salah seorang pemilik kafe plus di Desa Kupa, Kecamatan Mallustasi, kepada Kompas(dot)com mengatakan, kebanyakan lelaki hidung belang yang sudah menjadi pelanggan tetap kafe plus miliknya adalah sopir truk, baik yang dari maupun hendak ke Makassar.
"Kami memang ada pelayanan khusus untuk para sopir truk. Biasanya mereka transaksi sembari ngopi. Kami menyediakan kamar untuk mereka dengan biaya sewa Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per malam. Bayaran pelayannya ditentukan oleh pelayannya sendiri," katanya tanpa sungkan.
Sistem kerja PSK, kata Darwisa, pada umumnya tidak pernah menetap lama di satu warung remang-remang. Biasanya mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tergantung ramainya pengunjung.
Darwisa mengaku, warung kopi ataupun kafe yang tidak menyediakan pelayanan khusus dengan pelayanan yang bisa diajak transaksi hingga ke dalam kamar, biasanya sepi pengunjung.
"Di daerah sini, kalau tidak ada pelayanan plusnya, tidak akan laku. Sebab, pengunjung yang memang didominasi laki-laki, selain ngopi atau makan, juga selalu mencari wanita penghibur untuk diajak tidur," paparnya.
Meski kerap di-obok-obok petugas kepolisian maupun aparatur pemerintahan, yang tidak bosan melakukan razia PSK, seakan tak ada efek jera yang ditimbulkan, baik bagi para penjaja seks maupun pemilik rumah remang-remang. Malah dalam beberapa tahun terakhir, praktik prostitusi di daerah tersebut terus mengalami peningkatan.
Bahkan, belum lama ini Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Barru mengaku kesulitan membebaskan Kabupaten Barru dari PSK kendati Bupati Barru H Ndi Idris Syukur tahun ini sudah mencanangkan Barru Bebas PSK.
"Kami akui kesulitan mengatasi PSK di Barru. Namun, ini akan menjadi PR buat kami. Paling tidak, kami akan berupaya meminimalisasi munculnya praktik-praktik prostitusi dari warung remang-remang yang ada," papar Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Nasriah Majid.