Jika kita melihat dunia perbulutangkisan di Indonesia pada era ‘yang lalu’, pasti kita akan berdecak kagum dan juga bangga oleh prestasi yang dicapai pada saat itu. Bahkan, Indonesia bisa lebih terkenal di dunia karena bulutangkisnya. Jika ada pertanyaan mengenai apa yang kamu pikirkan mengenai Indonesia di mata dunia, pasti akan terlintas “bulutangkis” di sana. Ada pasangan atlet bulutangkis legendaris Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma yang pernah meraih medali emas pada Olimpiade Barcelona 1992, disamping berderet prestasi internasional yang pernah digaet.
Lalu ada nama Liem Swie King, Rudy Hartono, Hariyanto Arbi, Ivana lie, Verawaty Fajrin, Hendrawan, dan atlet-atlet yang telah mengharumkan nama bangsa lewat bulutangkis lainnya. Ada pula atlet yang terkenal dengan pukulan backhand-nya, yang sampai sekarang pun kita masih mendengar prestasi yang diraihnya. Siapa lagi kalau bukan Taufik Hidayat, sang pemegang medali emas Olimpiade Athena 2004. Nama-nama itu hanyalah contoh dari sekian banyak atlet yang pernah menyumbangkan kebanggaan bangsa Indonesia dan mengunggulkannya di mata dunia.
Namun sepertinya ada mendung kekhawatiran di atas bumi Negara Bulutangkis ini. Prestasi demi prestasi semakin menurun. Piala Thomas yang dulu betah tinggal di Indonesia sudah memilih tempat tinggalnya yang lain. All England sebagai salah satu turnamen bulutangkis bergengsi di dunia, sudah jarang atau bahkan tidak mau menuliskan nama orang Indonesia di dalam daftar para juaranya. Padahal dulu bendera Indonesia selalu berkibar paling atas saat penghargaan medali. Lihat saja Rudy Hartono yang pernah delapan kali juara pada turnamen tersebut! Sekarang?
Walau tidak diadakan survei sekalipun, saya yakin kalau kepuasan dan kebanggan masyarakat terhadap prestasi bulutangkis Indonesia pada ‘masa-masa yang baru’ ini akan kurang mengenakkan hati. Jika dulu ada pertandingan bulutangkis yang membawa nama Indonesia, maka warga akan berbondong-bondong menonton bersama dan tenggelam dalam euforia yang sangat luar biasa. Jalanan bisa sampai lengang karena warga lebih memilih menonton bulutangkis daripada keluar rumah. Bahkan, kegiatan ajar-mengajar dan perkantoran sampai-sampai diliburkan hanya untuk menyaksikan pergulatan yang dinanti-nanti itu. Sekarang? Pasti lebih memilih acara yang bisa menggelakkan tawa ataupun drama-drama cengeng yang mampu mengundang haru biru tangisan. Kalau ditanya, jawabannya adalah kalimat pesimistis, “Ah, pasti juga kalah lagi.”
Lalu, ada apa sebenarnya di balik semua ini?
Semuanya disebabkan oleh faktor X yang tak hanya bisa dijelaskan dalam sebuah diskusi semata, saling bersembunyi hingga sulit untuk menemukan apa sebenarnya faktor X itu. Tetapi saya melihat dari analisis saya sendiri, adanya simpul-simpul dari faktor X tersebut, yang mungkin saja perlu dibenahi agar negara kita ini bisa dihiasi dengan prestasi-presati perbulutangkisan yang lebih memukau.
1. Perkembangan Teknologi
Bagi kebanyakan orang, perkembangan teknologi yang begitu pesat akan membawa kemajuan yang pesat pula. Hal yang merupakan pendapat itu memang tidak bisa disangkal. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan perkembangan tersebut bisa terus menyulam kemajuan? Jawabannya adalah: jika perkembangan teknologi itu digunakan sejalan dengan kaidah yang sesuai.
Perkembangan teknologi juga harus digunakan dalam dunia perbulutangkisan kita. Mulai dari sarana pembinaan sampai saat terjun di lapangan, semuanya harus menggunakan teknologi yang setidaknya bisa dikatakan up to date. Hal ini mungkin terdengar sedikit aneh, tetapi jika kita perhatikan lebih dalam maka hal ini bisa menjadi sangat vital. Negara-negara yang lebih maju pasti akan menerapkan hal ini. Bukankah dalam ilmu ekonomi kita mengenal, investasi (pengadaan modal) adalah sesuatu yang sangat berharga untuk kelangsungan perusahaan? Mari kita ‘berinvestasi’ untuk perbulutangkisan Indonesia!
Lalu di sisi yang lain, mungkin perkembangan teknologi informasi-komunikasi seperti handphone dan internet akan mencemari pikiran dan konsentrasi para atlet kita. Dalam salah satu sudut pandang, perkembangan teknologi yang ini mungkin mempunyai faedah yang sangat besar. Tetapi dari sudut pandang yang lain, teknologi ini adalah pencecar yang bersifat long term. Dengan kemudahan para atlet berkomunikasi, bertukar informasi, maka lifestyle mereka pun juga akan terpengaruh. Kalau pengaruhnya baik sih tidak apa-apa. Tetapi kalau sampai mengganggu saat kegiatan-kegiatan penting, seperti pada saat berlatih dan sesaat sebelum bertanding, maka hal ini akan akan merugikan mereka sendiri tentunya.
2. Pembinaan
Ini adalah hal yang sering disorot dalam perbincangan mengenai perlubutangkisan Indonesia saat ini. Ada yang bilang kesalahan pembinaan, kesalahan manajemen, pelatih kurang profesional, dan lainnya. Tetapi mugkin tidak semua itu benar. Jika diperhatikan, pusat-pusat pelatihan bulutangkis saat ini jauh lebih baik daripada masa yang dulu. Yang menjadi kekurangan kita adalah adanya kesalahan manajemen dan kualitas semua pihak yang terlibat di dalamnya. Adanya kekeliruan manajemen bisa dibuktikan dengan lambatnya regenerasi atlet-atlet bulutangkis kita. Kita tidak bisa hanya bersandar pada atlet-atlet senior yang sudah memegang nama, tetapi yang mudalah yang harus mulai bertindak. Kalau soal pelatih, banyak juga dari mantan-mantan pebulutangkis legendaris kita yang terjun langsung dalam hal pembinaan, kan?
3. Peranan Pemerintah
Pemerintah harus berani bertindak dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perbulutangkisan, mulai dari pengadaan turnamen, pengadaan sarana-prasarana, pengadaan dana lain-lain, dan dalam manajemen itu sendiri. Berkaitan dengan poin nomor satu, dalam hal investasi teknologi, maka pemerintah harus berintervensi dengan cara pengadaan teknologi-teknologi itu. Hal lain seperti pemberian dana tunjangan hari tua yang lebih membesarkan hati para atlet. Tetapi jika melihat kemungkinan dalam tubuh pemerintah sendiri saja ‘pencuri’ sudah sibuk mengurusi para ‘pencuri’, boro-boro memajukan perbulutangkisan, terpikirkan saja pun mungkin tidak. Jangan-jangan malah dikorupsi nanti.
4. Mental
Ini adalah bagian paling vital dari semua poin di atas. Mental pemain sendiri lah yang akan menentukan kualitas mereka. Mental ini sangat erat kaitannya dengan semangat juang. Perkembangan teknologi, seperti yang telah dijelaskan pada poin satu, juga bisa melemahkan mental para atlet. Jika dulu, perkembangan teknologi belum begitu pesatnya, kini sudah bak jamur di musim hujan. Para atlet sekarang disuguhi berbagai teknologi yang memudahkan kegiatan, sehingga mereka seperti dimanjakan oleh teknologi tersebut. Alhasil, mental mereka pun juga lebih banyak diasah oleh yang mudah-mudah. Sebagai gambaran umum, misalnya jika dulu tidak ada pompa air, maka atlet dahulu harus mengambil air dari sumur, yang tak langsung akan mempengaruhi mental dan juga fisik mereka. Tidak ketinggalan juga, pacar! Hal yang satu ini bisa menjunjung atau malah menjatuhkan mental para atlet. Tergantung bagaimana mereka mengatur frekuensi hubungan mereka.
Mental yang dibentuk harus mental baja, bukan mental tempe!
5. Faktor X
Ini yang masih belum dipecahkan dan masih menjadi ’sesuatu’ yang bersembunyi itu. Kita hanya bisa menebak-nebak apakah faktor X itu. Apakah lingkungan? Bukankah pencemaran polusi udara oleh gas-gas buangan kendaraan bermotor akan mempengaruhi kinerja otak? Atau mungkin latihan yang tak terlihat? Seperti, karena dulu belum banyak teknologi komunikasi, maka atlet dulu harus sering-sering berjalan kaki, yang dengan kata lain akan berpengaruh pada fisik mereka juga? Atau jangan-jangan ada tragedi yang tidak kita harapkan, yakni jika memang negara-negara lain menjadi lebih unggul daripada negara kita? Entahlah.
Yang terpenting sekarang adalah FOKUS. Jika mau menjadi atlet bulutangkis, maka fokuslah pada dunia perbulutangkisan. Jangan termakan berita-berita korupsi atau drama-drama cengeng di televisi itu! Fokuslah dan berjuanglah dengan sepenuh hati.
Banggakan diri sendiri, teman, keluarga, dan semuanya, untuk Indonesia! Kibarkan Sang Saka Merah Putih dan gemparkan perhelatan dunia dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya! Ingat, kita pernah jaya, dan inilah saatnya untuk mengusung kejayaan tersebut ke tanah air kita, TANAH AIR INDONESIA…
Lalu ada nama Liem Swie King, Rudy Hartono, Hariyanto Arbi, Ivana lie, Verawaty Fajrin, Hendrawan, dan atlet-atlet yang telah mengharumkan nama bangsa lewat bulutangkis lainnya. Ada pula atlet yang terkenal dengan pukulan backhand-nya, yang sampai sekarang pun kita masih mendengar prestasi yang diraihnya. Siapa lagi kalau bukan Taufik Hidayat, sang pemegang medali emas Olimpiade Athena 2004. Nama-nama itu hanyalah contoh dari sekian banyak atlet yang pernah menyumbangkan kebanggaan bangsa Indonesia dan mengunggulkannya di mata dunia.
Namun sepertinya ada mendung kekhawatiran di atas bumi Negara Bulutangkis ini. Prestasi demi prestasi semakin menurun. Piala Thomas yang dulu betah tinggal di Indonesia sudah memilih tempat tinggalnya yang lain. All England sebagai salah satu turnamen bulutangkis bergengsi di dunia, sudah jarang atau bahkan tidak mau menuliskan nama orang Indonesia di dalam daftar para juaranya. Padahal dulu bendera Indonesia selalu berkibar paling atas saat penghargaan medali. Lihat saja Rudy Hartono yang pernah delapan kali juara pada turnamen tersebut! Sekarang?
Walau tidak diadakan survei sekalipun, saya yakin kalau kepuasan dan kebanggan masyarakat terhadap prestasi bulutangkis Indonesia pada ‘masa-masa yang baru’ ini akan kurang mengenakkan hati. Jika dulu ada pertandingan bulutangkis yang membawa nama Indonesia, maka warga akan berbondong-bondong menonton bersama dan tenggelam dalam euforia yang sangat luar biasa. Jalanan bisa sampai lengang karena warga lebih memilih menonton bulutangkis daripada keluar rumah. Bahkan, kegiatan ajar-mengajar dan perkantoran sampai-sampai diliburkan hanya untuk menyaksikan pergulatan yang dinanti-nanti itu. Sekarang? Pasti lebih memilih acara yang bisa menggelakkan tawa ataupun drama-drama cengeng yang mampu mengundang haru biru tangisan. Kalau ditanya, jawabannya adalah kalimat pesimistis, “Ah, pasti juga kalah lagi.”
Lalu, ada apa sebenarnya di balik semua ini?
Semuanya disebabkan oleh faktor X yang tak hanya bisa dijelaskan dalam sebuah diskusi semata, saling bersembunyi hingga sulit untuk menemukan apa sebenarnya faktor X itu. Tetapi saya melihat dari analisis saya sendiri, adanya simpul-simpul dari faktor X tersebut, yang mungkin saja perlu dibenahi agar negara kita ini bisa dihiasi dengan prestasi-presati perbulutangkisan yang lebih memukau.
1. Perkembangan Teknologi
Bagi kebanyakan orang, perkembangan teknologi yang begitu pesat akan membawa kemajuan yang pesat pula. Hal yang merupakan pendapat itu memang tidak bisa disangkal. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan perkembangan tersebut bisa terus menyulam kemajuan? Jawabannya adalah: jika perkembangan teknologi itu digunakan sejalan dengan kaidah yang sesuai.
Perkembangan teknologi juga harus digunakan dalam dunia perbulutangkisan kita. Mulai dari sarana pembinaan sampai saat terjun di lapangan, semuanya harus menggunakan teknologi yang setidaknya bisa dikatakan up to date. Hal ini mungkin terdengar sedikit aneh, tetapi jika kita perhatikan lebih dalam maka hal ini bisa menjadi sangat vital. Negara-negara yang lebih maju pasti akan menerapkan hal ini. Bukankah dalam ilmu ekonomi kita mengenal, investasi (pengadaan modal) adalah sesuatu yang sangat berharga untuk kelangsungan perusahaan? Mari kita ‘berinvestasi’ untuk perbulutangkisan Indonesia!
Lalu di sisi yang lain, mungkin perkembangan teknologi informasi-komunikasi seperti handphone dan internet akan mencemari pikiran dan konsentrasi para atlet kita. Dalam salah satu sudut pandang, perkembangan teknologi yang ini mungkin mempunyai faedah yang sangat besar. Tetapi dari sudut pandang yang lain, teknologi ini adalah pencecar yang bersifat long term. Dengan kemudahan para atlet berkomunikasi, bertukar informasi, maka lifestyle mereka pun juga akan terpengaruh. Kalau pengaruhnya baik sih tidak apa-apa. Tetapi kalau sampai mengganggu saat kegiatan-kegiatan penting, seperti pada saat berlatih dan sesaat sebelum bertanding, maka hal ini akan akan merugikan mereka sendiri tentunya.
2. Pembinaan
Ini adalah hal yang sering disorot dalam perbincangan mengenai perlubutangkisan Indonesia saat ini. Ada yang bilang kesalahan pembinaan, kesalahan manajemen, pelatih kurang profesional, dan lainnya. Tetapi mugkin tidak semua itu benar. Jika diperhatikan, pusat-pusat pelatihan bulutangkis saat ini jauh lebih baik daripada masa yang dulu. Yang menjadi kekurangan kita adalah adanya kesalahan manajemen dan kualitas semua pihak yang terlibat di dalamnya. Adanya kekeliruan manajemen bisa dibuktikan dengan lambatnya regenerasi atlet-atlet bulutangkis kita. Kita tidak bisa hanya bersandar pada atlet-atlet senior yang sudah memegang nama, tetapi yang mudalah yang harus mulai bertindak. Kalau soal pelatih, banyak juga dari mantan-mantan pebulutangkis legendaris kita yang terjun langsung dalam hal pembinaan, kan?
3. Peranan Pemerintah
Pemerintah harus berani bertindak dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perbulutangkisan, mulai dari pengadaan turnamen, pengadaan sarana-prasarana, pengadaan dana lain-lain, dan dalam manajemen itu sendiri. Berkaitan dengan poin nomor satu, dalam hal investasi teknologi, maka pemerintah harus berintervensi dengan cara pengadaan teknologi-teknologi itu. Hal lain seperti pemberian dana tunjangan hari tua yang lebih membesarkan hati para atlet. Tetapi jika melihat kemungkinan dalam tubuh pemerintah sendiri saja ‘pencuri’ sudah sibuk mengurusi para ‘pencuri’, boro-boro memajukan perbulutangkisan, terpikirkan saja pun mungkin tidak. Jangan-jangan malah dikorupsi nanti.
4. Mental
Ini adalah bagian paling vital dari semua poin di atas. Mental pemain sendiri lah yang akan menentukan kualitas mereka. Mental ini sangat erat kaitannya dengan semangat juang. Perkembangan teknologi, seperti yang telah dijelaskan pada poin satu, juga bisa melemahkan mental para atlet. Jika dulu, perkembangan teknologi belum begitu pesatnya, kini sudah bak jamur di musim hujan. Para atlet sekarang disuguhi berbagai teknologi yang memudahkan kegiatan, sehingga mereka seperti dimanjakan oleh teknologi tersebut. Alhasil, mental mereka pun juga lebih banyak diasah oleh yang mudah-mudah. Sebagai gambaran umum, misalnya jika dulu tidak ada pompa air, maka atlet dahulu harus mengambil air dari sumur, yang tak langsung akan mempengaruhi mental dan juga fisik mereka. Tidak ketinggalan juga, pacar! Hal yang satu ini bisa menjunjung atau malah menjatuhkan mental para atlet. Tergantung bagaimana mereka mengatur frekuensi hubungan mereka.
Mental yang dibentuk harus mental baja, bukan mental tempe!
5. Faktor X
Ini yang masih belum dipecahkan dan masih menjadi ’sesuatu’ yang bersembunyi itu. Kita hanya bisa menebak-nebak apakah faktor X itu. Apakah lingkungan? Bukankah pencemaran polusi udara oleh gas-gas buangan kendaraan bermotor akan mempengaruhi kinerja otak? Atau mungkin latihan yang tak terlihat? Seperti, karena dulu belum banyak teknologi komunikasi, maka atlet dulu harus sering-sering berjalan kaki, yang dengan kata lain akan berpengaruh pada fisik mereka juga? Atau jangan-jangan ada tragedi yang tidak kita harapkan, yakni jika memang negara-negara lain menjadi lebih unggul daripada negara kita? Entahlah.
Yang terpenting sekarang adalah FOKUS. Jika mau menjadi atlet bulutangkis, maka fokuslah pada dunia perbulutangkisan. Jangan termakan berita-berita korupsi atau drama-drama cengeng di televisi itu! Fokuslah dan berjuanglah dengan sepenuh hati.
Banggakan diri sendiri, teman, keluarga, dan semuanya, untuk Indonesia! Kibarkan Sang Saka Merah Putih dan gemparkan perhelatan dunia dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya! Ingat, kita pernah jaya, dan inilah saatnya untuk mengusung kejayaan tersebut ke tanah air kita, TANAH AIR INDONESIA…