Anak Jenius Indonesia Yang Kurang Dihargai di Negeri Sendiri !


Inilah nasib anak-anak jenius bangsa yang sudah mengharumkan nama Indonesia dalam berbagai lomba sains.

Menjadi jawara Olimpiade Fisika di tingkat Asia rupanya tak otomatis bisa menikmati beasiswa untuk kuliah di perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Pengalaman getir pada tahun lalu itu dialami Hendra Kwee, 30 tahun. Sebagai pembina di Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), ia bermaksud membantu anak asuhannya agar bisa mendapatkan beasiswa di Institut Teknologi Bandung.

Namun Hendra hanya bisa terbengong-bengong ketika seorang pejabat Kementerian Pendidikan Nasional meminta agar si pelajar itu kuliah dulu, baru kemudian mengajukan beasiswa. "Kemampuan anak-anak jenius ini sungguh tak dihargai," kata doktor fisika dari College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat, itu saat ditemui di kantor Yayasan TOFI, Rabu lalu.

Ia tak habis mengerti, seorang peraih medali emas kompetisi pelajar tingkat Asia, yang sudah mengharumkan nama negara, harus berjuang sendiri untuk bisa kuliah di dalam negeri. Padahal universitas luar negeri mana pun, Hendra melanjutkan, akan menjamin seluruh biaya sejak murid itu mendaftar.

Apesnya lagi, penerima beasiswa di Tanah Air tak serta-merta bisa tenang. Ia ingat betul saat kuliah di ITB, 13 tahun lalu. "Teman saya yang menerima beasiswa harus berutang kanan-kiri karena pencairannya molor lima bulan," katanya. Karena itu pula, Hendra ogah mengurus beasiswa untuk dirinya sendiri. Padahal ia adalah jawara olimpiade fisika pada 1996.

Entah berkaca pada pengalaman Hendra atau bukan, Winson Tanputraman, 17 tahun, pun lebih memilih kuliah di National University of Singapore (NUS) mulai Juni nanti. "Kampus itu menerima permohonan beasiswa saya," kata peraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat Asia di Thailand, 2009. Iming-iming dari Negeri Singa itu memang lebih menggoda. "Semua biaya kuliah dan hidup saya ditanggung mereka," ujar bekas murid SMAK 1 Penabur Jakarta Barat itu.

Yang lainnya, Mohammad Sohibul Maromi, peraih medali perak Olimpiade Fisika tingkat Asia di Taipei, Taiwan, 23-30 April lalu, sebetulnya sangat ingin kuliah di Singapura. Ia menyebut Nanyang Technological University (NTU) sebagai kampus idaman. "Tapi ibu saya sudah sepuh, kasihan kalau jauh," kata Romi--panggilannya--yang baru lulus dari SMA I Pamekasan, Madura.

Sementara ini, remaja berkacamata yang mahir bermain gitar itu sudah diterima di Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan. "Tapi akhir Mei saya akan coba ikut ujian di ITB untuk jurusan yang sama," ujarnya.

Singapura memang salah satu negara tujuan kuliah pelajar Indonesia. Menurut Kepala Fungsi Perlindungan WNI di Kedutaan Besar Indonesia untuk Singapura, Fahmi Aris Inayah, ada sekitar 16 ribu pelajar Indonesia di negara pulau itu. "Mereka tersebar di berbagai kampus swasta dan negeri di sini," katanya saat dihubungi via telepon Kamis lalu.

Kampus yang paling banyak menampung adalah NTU dan NUS. Kedua kampus ini masuk jajaran kampus top dunia, dan jawara di Asia. Dalam setahun, NTU dan NUS masing-masing menerima 120-an dan 80-an pelajar Indonesia.

Kampus-kampus di Singapura diketahui agresif memburu para pelajar berprestasi dari Indonesia. Mereka memiliki agen yang mendatangi sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar, untuk merayu para pelajar agar kuliah di Singapura.

Beasiswa yang ditawarkan, kata Hendra Wong, Ketua Pemuda Pelajar Indonesia Singapura, amat menggiurkan dibanding yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Angkanya memang bervariasi. Tapi setidaknya sudah menutupi biaya kuliah, yang rata-rata bernilai Rp 112 juta per tahun.

Syaratnya, mereka ikut ujian masuk yang digelar di kota-kota yang ditentukan. Hendra menyebutkan, NTU biasa menggelar ujian masuk di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Magelang. Sedangkan NUS hanya menggelar ujian di Jakarta dan Medan.

Singapura mengikat para penerima beasiswa itu dengan kontrak bekerja di perusahaan milik negara itu selama tiga tahun. Meski setelah itu mereka bebas bekerja di mana saja, menurut Hendra Kwee, ini cara halus agar para jenius itu tetap mengabdi kepada Singapura.

Fahmi menyatakan pemerintah tidak bisa membatasi gerak-gerik pihak Singapura. "Karena (beasiswa itu) tidak ada paksaan," katanya.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal menjelaskan, prosedur beasiswa di Tanah Air mungkin terkesan birokratis. Tapi hal itu dilakukan karena beasiswa merupakan uang negara, dan pemerintah tak mau kecolongan. Sebab, ada kalanya terjadi si penerima beasiswa ternyata kuliah di kampus lain, atau bahkan tidak mengikuti kuliah sementara uang telah digelontorkan. "Uang-uang itu harus bisa dipertanggungjawabkan," katanya.

Alokasi dana beasiswa Kementerian Pendidikan Nasional tahun ini Rp 1,5 triliun untuk lebih dari 3 juta siswa dan mahasiswa kurang mampu. Kementerian juga telah menyiapkan Program Beasiswa Bidik Misi sebesar Rp 200 miliar untuk 20 ribu mahasiswa dari keluarga kurang mampu.

"Tidak ada biaya apa pun. Bebas pendaftaran, SPP, bebas biaya hidup, semuanya kami siapkan," tutur Menteri Pendidikan M. Nuh kepada pers awal Januari lalu.
Ketua Yayasan TOFI Profesor Yohanes Surya mengaku geram terhadap oknum-oknum pemerintah yang menyepelekan pentingnya merawat para jenius muda kita. "Banyak oknum yang sok ngatur, tapi malah bikin kacau," katanya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Belajar Bahasa Inggris

Arsip Artikel