Tahun lalu, saya pergi bertamasya ke Hong Kong, dan bermalam di The Royal Pacific Hotel. Saat itu, saya ingin mengunjungi Disneyland yang baru selesai dibangun. Lalu saya pergi ke lobby hotel bagian informasi untuk bertanya mengenai transportasi.
Petugas resepsionis melihat wajah senyum saya yang ramah, dengan antusias dia memberitahu jika saya naik taksi pergi ke Disneyland jaraknya agak jauh, ongkos perjalanan kira-kira mencapai 100 dollar Hong Kong. Paling irit, naik kereta api MTR Kowloon, yang letaknya tidak jauh dari hotel. Tetapi bila ditempuh dengan jalan kaki, perjalanannya lumayan jauh, maka ia menyarankan naik taksi dari hotel ke stasiun MTR Kowloon.
Setelah mengucap terima kasih beberapa kali, saya lalu keluar hotel mencari taksi. Tidak diduga, begitu menyebutkan tujuan saya kepada empat taksi yang saya temui, semuanya menolak dengan halus. Setelah saya tidak menemukan alasan mengapa mereka menolak mengantarkan saya, lalu secara iseng saya berjalan ke pangkalan taksi yang ada di sebelah hotel. Di sana terlihat sederetan panjang taksi yang antri menunggu giliran.
Saya berjalan ke antrian taksi yang paling depan dan mengatakan tujuan saya. Sopir taksi itu tanpa menjawab, langsung menyuruh saya pergi ke taksi yang ada dibelakangnya. Saya terpaksa berjalan menuju taksi yang kedua. Sopir taksi kedua, begitu mendengar tujuan saya, langsung menolak mengantarkan saya.
Saat itu, petugas satpam yang mengatur keamanan di sana melihat kebingungan saya. Dia menghampiri saya dan bertanya dengan jelas keadaan saya. Setelah itu, dia berteriak keras menggunakan dialek Kanton, para sopir taksi itu tidak berani lagi menyatakan keberatan mereka, dan terpaksa membiarkan saya naik ke dalam taksinya. Akan tetapi, air muka sopir taksi itu sungguh merah padam.
Dalam perjalanan, perasaan sopir taksi masih emosi, tampangnya seperti orang yang masih tidak terima, begitu emosinya dia lupa mengaktifkan meteran taksi. Saya berulang kali mencari kesalahan saya tapi tak menemukan. Agar meredakan emosi sopir taksi itu, saya berulang kali meminta maaf kepadanya, “Maafkan saya, jika saya benar-benar melakukan kesalahan.”
Dengan amarah yang masih tersisa dia berkata, “Mengapa Anda harus naik taksi saya? Tahukah Anda, saya sudah antri selama dua jam lebih di pangkalan taksi itu baru mendapatkan giliran ini! Sedangkan ongkos perjalanan Anda kurang dari dua puluh dollar Hong Kong.”
Akhirnya, saya baru mengerti penyebab sopir-sopir taksi itu menolak mengantar saya, tetapi sudah terlambat. Sopir tersebut mengomel tiada hentinya di sepanjang perjalanan. Saya bahkan sudah menyatakan rela membayarnya lebih dari sepuluh dollar Hong Kong, tapi dia masih tidak mau memaafkan saya. Begitu hampir tiba ditempat tujuan, saya mengeluarkan selembar brosur latihan meditasi dan menyodorkan kepada sopir taksi tersebut, serta sekali lagi meminta maaf kepadanya. Saat itu, mendadak ia berkata, “Inilah yang dikatakan takdir, mungkin di kehidupan sebelumnya saya berhutang kepada Anda.” Kemudian wajahnya berubah dari merah padam menjadi tersenyum, sepertinya semua kejadian selama ini teruraikan dalam waktu sekejap.
Memang benar, langit dan bumi itu diciptakan Tuhan, manusia juga diciptakan Tuhan, perkembangan sejarah semuanya adalah pengaturan Tuhan, bukankah segala sesuatu kejadian di dunia ini mempunyai takdir? Walaupun kita sering mendengarkan keluhan orang lain, mengapa orang baik yang di dunia ini selalu menerima penghinaan? Terkadang juga mendengar gerutuan orang lain, mengapa orang jahat dan iblis begitu lambat tidak mendapatkan balasannya? Tak tahunya, semua peristiwa mengandung makna kehendak-Nya, semua peristiwa memiliki waktu, segala makhluk mempunyai ketetapan masa, hanya kita sebagai manusia biasa tidak mempunyai kecerdasan yang cukup untuk melihat jelas semua ini.
Orang di dunia fana ini, kebanyakan memutuskan baik atau buruknya suatu peristiwa, berdasarkan kegemaran dan untung rugi atas dirinya sendiri. Karenanya mereka tidak bisa dengan legawa menerima pengaturan Tuhan. Mengetahui takdir, menuruti kehendak Tuhan, disaat menemui segala kejadian bisa menyesuaikan diri dan tenang, tidak memaksakan benda apapun yang bukan miliknya sendiri, hati penuh syukur dalam memperlakukan segala sesuatu yang kita miliki. Jika bisa demikian, akan memiliki kehidupan yang lepas dan bebas! (Guan Ming / The Epoch Times / lin)
Petugas resepsionis melihat wajah senyum saya yang ramah, dengan antusias dia memberitahu jika saya naik taksi pergi ke Disneyland jaraknya agak jauh, ongkos perjalanan kira-kira mencapai 100 dollar Hong Kong. Paling irit, naik kereta api MTR Kowloon, yang letaknya tidak jauh dari hotel. Tetapi bila ditempuh dengan jalan kaki, perjalanannya lumayan jauh, maka ia menyarankan naik taksi dari hotel ke stasiun MTR Kowloon.
Setelah mengucap terima kasih beberapa kali, saya lalu keluar hotel mencari taksi. Tidak diduga, begitu menyebutkan tujuan saya kepada empat taksi yang saya temui, semuanya menolak dengan halus. Setelah saya tidak menemukan alasan mengapa mereka menolak mengantarkan saya, lalu secara iseng saya berjalan ke pangkalan taksi yang ada di sebelah hotel. Di sana terlihat sederetan panjang taksi yang antri menunggu giliran.
Saya berjalan ke antrian taksi yang paling depan dan mengatakan tujuan saya. Sopir taksi itu tanpa menjawab, langsung menyuruh saya pergi ke taksi yang ada dibelakangnya. Saya terpaksa berjalan menuju taksi yang kedua. Sopir taksi kedua, begitu mendengar tujuan saya, langsung menolak mengantarkan saya.
Saat itu, petugas satpam yang mengatur keamanan di sana melihat kebingungan saya. Dia menghampiri saya dan bertanya dengan jelas keadaan saya. Setelah itu, dia berteriak keras menggunakan dialek Kanton, para sopir taksi itu tidak berani lagi menyatakan keberatan mereka, dan terpaksa membiarkan saya naik ke dalam taksinya. Akan tetapi, air muka sopir taksi itu sungguh merah padam.
Dalam perjalanan, perasaan sopir taksi masih emosi, tampangnya seperti orang yang masih tidak terima, begitu emosinya dia lupa mengaktifkan meteran taksi. Saya berulang kali mencari kesalahan saya tapi tak menemukan. Agar meredakan emosi sopir taksi itu, saya berulang kali meminta maaf kepadanya, “Maafkan saya, jika saya benar-benar melakukan kesalahan.”
Dengan amarah yang masih tersisa dia berkata, “Mengapa Anda harus naik taksi saya? Tahukah Anda, saya sudah antri selama dua jam lebih di pangkalan taksi itu baru mendapatkan giliran ini! Sedangkan ongkos perjalanan Anda kurang dari dua puluh dollar Hong Kong.”
Akhirnya, saya baru mengerti penyebab sopir-sopir taksi itu menolak mengantar saya, tetapi sudah terlambat. Sopir tersebut mengomel tiada hentinya di sepanjang perjalanan. Saya bahkan sudah menyatakan rela membayarnya lebih dari sepuluh dollar Hong Kong, tapi dia masih tidak mau memaafkan saya. Begitu hampir tiba ditempat tujuan, saya mengeluarkan selembar brosur latihan meditasi dan menyodorkan kepada sopir taksi tersebut, serta sekali lagi meminta maaf kepadanya. Saat itu, mendadak ia berkata, “Inilah yang dikatakan takdir, mungkin di kehidupan sebelumnya saya berhutang kepada Anda.” Kemudian wajahnya berubah dari merah padam menjadi tersenyum, sepertinya semua kejadian selama ini teruraikan dalam waktu sekejap.
Memang benar, langit dan bumi itu diciptakan Tuhan, manusia juga diciptakan Tuhan, perkembangan sejarah semuanya adalah pengaturan Tuhan, bukankah segala sesuatu kejadian di dunia ini mempunyai takdir? Walaupun kita sering mendengarkan keluhan orang lain, mengapa orang baik yang di dunia ini selalu menerima penghinaan? Terkadang juga mendengar gerutuan orang lain, mengapa orang jahat dan iblis begitu lambat tidak mendapatkan balasannya? Tak tahunya, semua peristiwa mengandung makna kehendak-Nya, semua peristiwa memiliki waktu, segala makhluk mempunyai ketetapan masa, hanya kita sebagai manusia biasa tidak mempunyai kecerdasan yang cukup untuk melihat jelas semua ini.
Orang di dunia fana ini, kebanyakan memutuskan baik atau buruknya suatu peristiwa, berdasarkan kegemaran dan untung rugi atas dirinya sendiri. Karenanya mereka tidak bisa dengan legawa menerima pengaturan Tuhan. Mengetahui takdir, menuruti kehendak Tuhan, disaat menemui segala kejadian bisa menyesuaikan diri dan tenang, tidak memaksakan benda apapun yang bukan miliknya sendiri, hati penuh syukur dalam memperlakukan segala sesuatu yang kita miliki. Jika bisa demikian, akan memiliki kehidupan yang lepas dan bebas! (Guan Ming / The Epoch Times / lin)