Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menilai perlu dikembangkan kurikulum berbasis penguatan penalaran, bukan hafalan semata. Kurikulum pendidikan di Indonesia dipandang perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pola pembelajaran harus diarahkan untuk mendorong murid mencari tahu dan mengobservasi, bukan diberi tahu.
Kemendikbud pun menyusun perubahan kurikulum untuk tahun 2013. Kurikulum baru ini diuji publik selama tiga minggu mulai Senin, 3 Desember 2012. “Zaman sudah berubah. Kompetensi diperlukan untuk pengembangan intelektual siswa juga harus berubah, karena tantangan yang mereka hadapi di masa depan tidak akan sama dengan sekarang,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh.
Alasan perubahan kurikulium itu juga merujuk pada hasil sejumlah survei internasional tentang kemampuan siswa Indonesia. Misalkan pada 2007, survei ‘Trends in International Math and Science’ Global Institute mencatat hanya 5 persen siswa Indonesia mampu mengerjakan soal berkategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sedangkan siswa Korea yang sanggup mengerjakannya mencapai 71 persen.
Sebaliknya, 78 persen siswa Indonesia dapat mengerjakan soal-soal kategori rendah yang hanya memerlukan hafalan, sementara siswa Korea yang bisa mengerjakan soal semacam itu hanya 10 persen.
Ditambah lagi dengan catatan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009, Indonesia menempati peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara peserta PISA. Diadakan tiga tahun sekali sejak 2000, PISA menyertakan siswa berusia 15 tahun dari 65 negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kriteria penilaian PISA mencakup kemampuan kognitif, dan keahlian siswa dalam membaca, matematika, dan sains.
PISA 2009 memperlihatkan, hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara banyak siswa negara lain yang menguasai pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6. Survei Global Institute 2007 dan hasil PISA 2009 dalam dirangkum dalam satu kesimpulan: prestasi siswa Indonesia rendah dibanding negara lain.
IPA-IPS Hilang
Rancangan Kurikulum 2013 mengurangi mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Mata pelajaran SD yang sebelumnya ada 10 dipadatkan menjadi 6, sedangkan mata pelajaran SMP yang sebelumnya berjumlah 12 diringkas menjadi 10.
Enam mata pelajaran yang diajarkan di SD itu adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Agama, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Kesenian. Sementara Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial yang sebelumnya ada di daftar mata pelajaran, akan diajarkan secara terpadu dengan pelajaran-pelajaran lain sesuai tema yang sedang dibahas.
“Misalnya di IPA ada tema soal air, maka tema air itu bisa jadi muatan di pelajaran matematika, Bahasa Indonesia, dan PPKN,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad, kepada VIVAnews, Minggu 2 Desember 2012. Dengan demikian, IPA dan IPS bukannya dihapus dari kurikulum, melainkan diintegrasikan dengan pelajaran lain berdasarkan tema.
Ibnu menjelaskan, khusus mata pelajaran IPA dan IPS ini, Menteri Nuh memberikan tiga alternatif pengintegrasian. Pertama, nama pelajaran IPA dan IPS sama sekali tidak dimunculkan, namun muatannya muncul di pelajaran-pelajaran lain. Kedua, IPA dan IPS dimunculkan mulai kelas 4 SD sampai 6 SD. Ketiga, IPA dan IPS akan dimunculkan sebagai pelajaran tersendiri untuk kelas 5 dan 6 SD.
“Intinya, yang dihapuskan adalah nama pelajarannya –IPA dan IPS. Namun substansi pelajaran IPA dan IPS tidak ada satu pun yang dihilangkan,” ujar Ibnu. IPA dan IPS bukan satu-satunya mata pelajaran yang akan diubah dalam kurikulum baru. Bahasa Inggris pun tidak akan masuk ke dalam mata pelajaran SD, tapi tetap diajarkan sebagai ekstra kurikuler.
Sementara itu, 10 mata pelajaran yang akan diajarkan di tingkat SMP adalah Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Seni Budaya dan Muatan Lokal, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan Prakarya.
Meski mata pelajaran berkurang, namun jumlah jam pelajaran justru bertambah. Jam belajar siswa SD bertambah rata-rata empat jam per minggu. Untuk kelas 1 SD, jam belajar bertambah dari 26 menjadi 30 jam, kelas 2 SD dari 27 menjadi 32 jam, kelas 3 SD dari 28 menjadi 34 jam, dan kelas 4, 5, 6 SD dari 32 menjadi 36 jam.
Jam pelajaran siswa SMP pun bertambah enam jam per minggu, dan siswa SMA bertambah dua jam per minggu. Satu jam pelajaran adalah 35 menit, bukan 60 menit. Penambahan jam belajar ini dilakukan karena jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat dibanding negara-negara lain.
Model pembelajaran di kurikulum baru ini mendorong murid untuk mencari tahu dan melakukan observasi. Siswa diarahkan untuk merumuskan masalah (bertanya), bukan hanya menyelesaikan masalah (menjawab). Murid dilatih untuk berpikir analitis (mengambil keputusan), bukan berpikir mekanistis (rutin). Siswa juga diajari untuk bekerja sama dan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah.
“Kurikulum baru ini didesain menyiapkan generasi Indonesia yang lebih optimis, di mana terdapat keseimbangan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan,” kata Ibnu.
Kualitas Guru
Perubahan kurikulum ini melalui empat tahap. Pertama, Kemendikbud mengembangkan kurikulum dengan melibatkan para pakar pendidikan, kebudayaan, sampai ilmuwan. Kedua, presentasi di depan Wakil Presiden RI Boediono pada 13 November 2012. Ketiga, uji publik selama tiga minggu untuk menghimpun berbagai masukan masyarakat. Keempat, memformulasi ulang masukan masyarakat.
Para pakar yang telah dimintai masukan antara lain Rektor Universitas Paramadina dan penggagas gerakan "Indonesia Mengajar" Anies Baswedan, fisikawan dan tokoh pendidikan Yohanes Surya, sejarawan Taufik Abdullah, serta sastrawan dan budayawan Goenawan Mohamad.
Anies Baswedan meminta pemerintah juga memperhatikan guru, di samping menyusun kurikulum pendidikan baru untuk murid. “Kurikulum baru ini mensyaratkan kompetensi guru yang lebih baik karena beban ada di guru. Menurut kurikulum baru, guru harus mengajar dengan cara berbeda,” kata Anies.
Oleh sebab itu Anies menekankan pada peningkatan kualitas guru ketimbang perubahan kurikulum. “Ini karena ujung tombak ada pada guru. Apapun muatan kurikulum yang diberikan pada murid, yang akan menyampaikan materi di kelas adalah guru. Jadi mengubah kurikulum tanpa meningkatkan kualitas guru, tak ada artinya,” kata dia.
Anies menyatakan, seorang murid menyukai pelajaran bukan karena bukunya, tapi karena gurunya. Ia mencontohkan, pelajaran matematika jadi menyenangkan jika gurunya menyenangkan. “Meski bukunya sama, namun kecintaan murid pada suatu pelajaran berbeda-beda. Jadi fokus pemerintah jangan hanya di hulu (kurikulum), tapi juga di hilir (guru),” ujarnya.
Wakil Presiden Boediono sendiri, menurut Anies, sudah memberikan arahan pada Kemendikbud untuk memperhatikan faktor guru. “Arahan Pak Boediono sudah betul. Harus ada juga tim khusus untuk guru supaya seimbang,” kata dia.