Malam semakin merayap. Jalanan Jakarta masih ramai. Kami memasuki sebuah tempat hiburan malam di sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Konon, kelab malam ini sering didatangi kalangan berduit. Untuk pertama kalinya saya datang ke sini.
Malam itu, kami mengadakan pesta perpisahan dengan seorang teman kantor. Dia pindah kerja setelah berada di bawah satu atap bersama. Tentu saja, "pesta perpisahan" ini dibayar oleh dia. Karena, secara posisi di kantor, dia bos. Dan, di tempat kerjanya yang baru ini dia akan menjadi orang nomor satu.
Pukul 18.30 WIB kami naik ke lantai dua kelab malam itu. Keluar dari lift lalu belok kiri sampai mentok terus ke kiri lagi. Lalu kami masuk ke pintu pertama setelah berbelok ke kiri. Astaga! Luasnya minta ampun. Sebuah ruang karoke yang begitu elit, luas dilengkapi berbagai fasilitas.
Di sana ada tiga televisi besar. Satu TV yang di tengah untuk karoke. Dua lainnya, di sisi kiri dan kanan, dipakai untuk nonton berita dan film. Selain itu ada enam salon gantung ukuran kecil plus empat salon besar yang ditempatkan di sisi kiri dan kanan lemari TV tadi.
Fasilitas lainnya adalah dua toilet, satu ruang pijet refleksi yang berukuran kecil lengkap dengan kursi malas di sana. Ada satu mini bar, tempat pelayanan segala jenis minuman. Di depan TV tadi, ada empat sofa besar dengan satu meja panjang. Agak di dekat televisi, ada satu meja bundar kecil. Selain itu masih ada satu meja biliar dengan empat stik plus sofa panjang yang bisa diduduki tujuh orang di sampingnya.
Sebelum nyanyi-nyanyi, kami pesan makan malam. Semuanya pesan sop buntut kuah dan goreng plus buah-buah segar. Setelah selesai makan, ada yang mulai main biliar, ada yang mulai dengan nyanyi.
Tak lama berselang, beberapa jenis minuman diantar. Sejurus kemudian, perempuan-perempuan cantik sebanyak 10 orang masuk. Ada yang pakai rok mini dengan baju lengan setengah panjang, layaknya orang kantoran, tetapi satu kancing di atas dada dibiarkan terbuka. Ada yang pakai terusan selutut. Tetapi ada juga yang pakai pakaian super 5eksi. Yang terbungkus hanya bagian dada hingga paha jauh di atas lutut.
Mereka lalu menyebar di antara kami. Satu orang dapat satu. Mereka menemani nyanyi, menuangkan minuman ke gelas. Mereka menemani joget dan dansa super rapat. Seolah sudah lama bertemu, mereka begitu mesra. Ada yang mengelus-elus manja tamunya. "Suka dugem ya Pak," tanya salah satu dari mereka. "Enggak," jawab saya. "Kok lincah banget jogetnya," ucapnya.
Saat mereka datang, lampu mulai diredupkan. Yang tersisa hanya cahaya televisi, kecuali di meja biliar, masih ada sedikit cahaya lampu. Sebab di situ masih ada yang main bola sodok itu.
Makin malam, minuman dengan kadar alkhohol hingga 40 persen makin lancar dikeluarkan. Dan dalam waktu singkat habis. Botol demi botoh habis, sampai ada teman mengaku melayang karena kebanyakan minuman. Untunglah semuanya masih bisa dikontrol. Tidak ada yang berlebihan dan tidak ada yang bertindak di luar kewajaran.
Melihat Perempuan Telanjang
Sebenarnya, ini bukan pertama kali saya menikmati kehidupan dunia malam. Pada periode 2003-2006, saya cukup sering mendatangi tempat-tempat hiburan. Tentu bukan atas biaya sendiri tetapi dibayari teman. Pernah di sebuah malam, kami memasuki kelab malam di kawasan pecenongan. Kami di antar ke sebuah diskotik. Di sana kami menyaksikan tari telanjang. Setelah itu diajak masuk ke sebuah ruangan ditemani beberapa perempuan. Mereka minum sampai mabuk di situ. Mereka pun mau melayani apa pun yang diminta tamunya, termasuk melakukan hubungan intim.
Ketika itu ada perempuan yang mengaku masih perawan. Kepada seorang teman dia, melalui temannya, diminta bayaran tinggi, kalau memakai jasanya.
Pada kesempatan lain, Kami pernah juga masuk ke sebuah tempat spa di Pecenongan Jakarta Pusat. Di situ, saya menyaksikan perempuan-perempuan warga negara asing, dari Cina Selatan, dipajang dalam ruang kaca. Perempuan-perempuan ini dikenal dengan sebutan cungkok. Mereka yang hanya mengenakan bra dan celana dalam. Mereka siap dipakai untuk menemani tamunya di tempat itu untuk aktivitas apa pun, termasuk menemani mandi di kolam. Tetapi saya sendiri tidak pernah memakai mereka karena tidak ada yang membayar. Paling saya hanya menikmati pijet refleksi yang dilakukan oleh kaum pria dan sauna.
Kali lain, saya juga diajak menyusuri gang-gang di kawasan Hayam Wuruk. Di sana banyak sekali tempat hiburan. Kami pernah menikmati "mandi susu" di sana. Mandi susu ini adalah mandi menggunakan susu. Setiap tamu dimandi dengan susu oleh perempuan pelayan di situ. Semua dalam keadaan telanjang bulat. Lelaki dimandikan tidak dengan tangan tetapi dengan susu sang pelayan.
Sebelum memasuki kamar, para tamu dipersilahkan memilih "pemandinya" di lantai bawah. Ruangan it penuh sesak dan remang-remang. Setelah nego harga dan sreg dengan perempuan pilihannya, baru masuk ke kamar untuk melakoni ritual mandi susu.
Selain hiburan ekstrim seperti itu, masih banyak tempat-tempat hiburan ringan untuk pijet, sauna dan luluran di kawasan Mangga Besar. Pernah, pada sebuah malam, saya dan seorang teman bertandang ke situ pada malam bulan puasa. Ketika sampai di sana, penjaga di situ mengatakan bahwa tempat itu tutup selama puasa. Pintu pun hanya dibuka setengah. Padahal, beberapa menit sebelumnya, salah satu teman kami sedang dipijet di sana.
Sambil ke luar dari lokasi tersebut, kami menelepon teman tadi. Setelah diberitahu bahwa tempat itu tetap buka, kami lalu masuk lagi. Kali ini, akhirnya mereka bukakan pintu untuk kami, meski sudah larut malam. Kami pun menikmati mandi air panas dan pijet malam itu.
Begitulah kehidupan dunia malam di Jakarta. Pengalaman ini mungkin belum seberapa. Mungkin masih ada orang yang mengalami lebih dari ini. Tetapi intinya, kehidupan malam di Jakarta sangat marak dan peredaran uang pada bisnis ini sangat besar.
Malam itu, kami mengadakan pesta perpisahan dengan seorang teman kantor. Dia pindah kerja setelah berada di bawah satu atap bersama. Tentu saja, "pesta perpisahan" ini dibayar oleh dia. Karena, secara posisi di kantor, dia bos. Dan, di tempat kerjanya yang baru ini dia akan menjadi orang nomor satu.
Pukul 18.30 WIB kami naik ke lantai dua kelab malam itu. Keluar dari lift lalu belok kiri sampai mentok terus ke kiri lagi. Lalu kami masuk ke pintu pertama setelah berbelok ke kiri. Astaga! Luasnya minta ampun. Sebuah ruang karoke yang begitu elit, luas dilengkapi berbagai fasilitas.
Di sana ada tiga televisi besar. Satu TV yang di tengah untuk karoke. Dua lainnya, di sisi kiri dan kanan, dipakai untuk nonton berita dan film. Selain itu ada enam salon gantung ukuran kecil plus empat salon besar yang ditempatkan di sisi kiri dan kanan lemari TV tadi.
Fasilitas lainnya adalah dua toilet, satu ruang pijet refleksi yang berukuran kecil lengkap dengan kursi malas di sana. Ada satu mini bar, tempat pelayanan segala jenis minuman. Di depan TV tadi, ada empat sofa besar dengan satu meja panjang. Agak di dekat televisi, ada satu meja bundar kecil. Selain itu masih ada satu meja biliar dengan empat stik plus sofa panjang yang bisa diduduki tujuh orang di sampingnya.
Sebelum nyanyi-nyanyi, kami pesan makan malam. Semuanya pesan sop buntut kuah dan goreng plus buah-buah segar. Setelah selesai makan, ada yang mulai main biliar, ada yang mulai dengan nyanyi.
Tak lama berselang, beberapa jenis minuman diantar. Sejurus kemudian, perempuan-perempuan cantik sebanyak 10 orang masuk. Ada yang pakai rok mini dengan baju lengan setengah panjang, layaknya orang kantoran, tetapi satu kancing di atas dada dibiarkan terbuka. Ada yang pakai terusan selutut. Tetapi ada juga yang pakai pakaian super 5eksi. Yang terbungkus hanya bagian dada hingga paha jauh di atas lutut.
Mereka lalu menyebar di antara kami. Satu orang dapat satu. Mereka menemani nyanyi, menuangkan minuman ke gelas. Mereka menemani joget dan dansa super rapat. Seolah sudah lama bertemu, mereka begitu mesra. Ada yang mengelus-elus manja tamunya. "Suka dugem ya Pak," tanya salah satu dari mereka. "Enggak," jawab saya. "Kok lincah banget jogetnya," ucapnya.
Saat mereka datang, lampu mulai diredupkan. Yang tersisa hanya cahaya televisi, kecuali di meja biliar, masih ada sedikit cahaya lampu. Sebab di situ masih ada yang main bola sodok itu.
Makin malam, minuman dengan kadar alkhohol hingga 40 persen makin lancar dikeluarkan. Dan dalam waktu singkat habis. Botol demi botoh habis, sampai ada teman mengaku melayang karena kebanyakan minuman. Untunglah semuanya masih bisa dikontrol. Tidak ada yang berlebihan dan tidak ada yang bertindak di luar kewajaran.
Melihat Perempuan Telanjang
Sebenarnya, ini bukan pertama kali saya menikmati kehidupan dunia malam. Pada periode 2003-2006, saya cukup sering mendatangi tempat-tempat hiburan. Tentu bukan atas biaya sendiri tetapi dibayari teman. Pernah di sebuah malam, kami memasuki kelab malam di kawasan pecenongan. Kami di antar ke sebuah diskotik. Di sana kami menyaksikan tari telanjang. Setelah itu diajak masuk ke sebuah ruangan ditemani beberapa perempuan. Mereka minum sampai mabuk di situ. Mereka pun mau melayani apa pun yang diminta tamunya, termasuk melakukan hubungan intim.
Ketika itu ada perempuan yang mengaku masih perawan. Kepada seorang teman dia, melalui temannya, diminta bayaran tinggi, kalau memakai jasanya.
Pada kesempatan lain, Kami pernah juga masuk ke sebuah tempat spa di Pecenongan Jakarta Pusat. Di situ, saya menyaksikan perempuan-perempuan warga negara asing, dari Cina Selatan, dipajang dalam ruang kaca. Perempuan-perempuan ini dikenal dengan sebutan cungkok. Mereka yang hanya mengenakan bra dan celana dalam. Mereka siap dipakai untuk menemani tamunya di tempat itu untuk aktivitas apa pun, termasuk menemani mandi di kolam. Tetapi saya sendiri tidak pernah memakai mereka karena tidak ada yang membayar. Paling saya hanya menikmati pijet refleksi yang dilakukan oleh kaum pria dan sauna.
Kali lain, saya juga diajak menyusuri gang-gang di kawasan Hayam Wuruk. Di sana banyak sekali tempat hiburan. Kami pernah menikmati "mandi susu" di sana. Mandi susu ini adalah mandi menggunakan susu. Setiap tamu dimandi dengan susu oleh perempuan pelayan di situ. Semua dalam keadaan telanjang bulat. Lelaki dimandikan tidak dengan tangan tetapi dengan susu sang pelayan.
Sebelum memasuki kamar, para tamu dipersilahkan memilih "pemandinya" di lantai bawah. Ruangan it penuh sesak dan remang-remang. Setelah nego harga dan sreg dengan perempuan pilihannya, baru masuk ke kamar untuk melakoni ritual mandi susu.
Selain hiburan ekstrim seperti itu, masih banyak tempat-tempat hiburan ringan untuk pijet, sauna dan luluran di kawasan Mangga Besar. Pernah, pada sebuah malam, saya dan seorang teman bertandang ke situ pada malam bulan puasa. Ketika sampai di sana, penjaga di situ mengatakan bahwa tempat itu tutup selama puasa. Pintu pun hanya dibuka setengah. Padahal, beberapa menit sebelumnya, salah satu teman kami sedang dipijet di sana.
Sambil ke luar dari lokasi tersebut, kami menelepon teman tadi. Setelah diberitahu bahwa tempat itu tetap buka, kami lalu masuk lagi. Kali ini, akhirnya mereka bukakan pintu untuk kami, meski sudah larut malam. Kami pun menikmati mandi air panas dan pijet malam itu.
Begitulah kehidupan dunia malam di Jakarta. Pengalaman ini mungkin belum seberapa. Mungkin masih ada orang yang mengalami lebih dari ini. Tetapi intinya, kehidupan malam di Jakarta sangat marak dan peredaran uang pada bisnis ini sangat besar.