Inilah Musuh Terbesar Wanita !

“Istrinya sih, tidak mau ikut suami. Nggak heran kalau suaminya punya pacar lagi.” Begitu kira-kira bisik-bisik tetangga membahas perselingkuhan yang terjadi di sebuah kompleks perumahan. Sang istri –yang dijadikan bahan gosip— rupanya memilih tidak mendampingi suaminya yang ditugaskan ke luar kota, karena ingin mempertahankan pekerjaan dan kariernya yang cemerlang –yang telah dirintisnya dengan susah payah dari nol. Hidup terpisah selama beberapa lama ternyata berakhir dengan perselingkuhan sang suami. 

Di hadapan sang istri, teman-teman wanitanya memang memberi dukungan moral. Tetapi di belakang, yang berhamburan justru kata-kata pedas yang cenderung menyalahkan pihak istri. Padahal semua juga tahu bahwa kelanggengan sebuah rumah tangga bukanlah tanggung jawab istri semata. Bisa jadi justru sang suamilah yang bertipe tidak setia.

Diakui atau tidak, banyak wanita merasa bahwa kritik dan kecaman terpedas yang mereka terima selama ini justru kerap datang dari sesama wanita. Ibu, kakak, ibu mertua, nenek, tante, teman-teman wanita, semua bisa berpartisipasi dalam hal ini. Mengapa banyak wanita merasa tidak didukung, melainkan justru merasa dijatuhkan oleh sesama wanita? Sejauh mana sebenarnya solidaritas yang ada di antara sesama wanita?

Kebencian yang berkembang di antara wanita ini juga kerap mengungkapkan sisi gelap dalam hubungan antarwanita. Ketika ayah atau suami dianggap bertanggung jawab untuk memenuhi seluruh keperluan keluarga yang berhubungan dengan ekonomi, istri atau ibu diposisikan sebagai penjaga keutuhan dan keharmonisan hubungan keluarga. Kenyataannya, saat bertemu dengan sesama gender, ada ‘sesuatu’ yang membatasi sesama wanita untuk saling mendukung, melindungi, dan berjuang untuk satu sama lain. Sesuatu inilah yang akhirnya membuat wanita kerap membenci sesama wanita, merasa cemburu dan iri, serta ingin saling menjatuhkan.

Memahami kondisi tersebut, kita harus terlebih dulu melihat proses perkembangan persepsi wanita pada dirinya sendiri. Kristi Wulandari, psikolog klinis dari Universitas Indonesia yang juga aktif di LBH Apik, mengungkapkan bahwa di dalam kehidupannya wanita dikondisikan untuk ‘melayani’ pria. Apalagi hal ini juga ‘dilegitimasi’ oleh ajaran agama –setidaknya menurut tafsir versi para pemuka agama yang kebanyakan adalah pria. “Mereka dibesarkan untuk menjadi wanita yang baik agar kelak menjadi istri yang baik dan mendukung suaminya,” ujar Kristi. Ambil contoh, sejak kecil wanita selalu diberi pengertian bahwa jika suaminya sudah berkecukupan, mereka tidak perlu bekerja. Jika tetap ngotot bekerja, siap-siap saja menerima konsekuensinya.

Ada standardisasi norma dalam masyarakat untuk menjadi wanita yang baik. Jika ada wanita yang melanggar norma itu, maka ia dianggap bersalah. Terkait dengan contoh di atas, sang istri dianggap  melanggar norma bahwa istri yang baik harus senantiasa mendampingi dan mendukung suaminya. Padahal, sebagai manusia, wanita juga memiliki hak yang sama untuk mengaktualisasikan diri. “Kalau wanita ingin menerima tawaran bekerja di luar kota, misalnya, biasanya ia akan terlebih dulu memikirkan apakah suaminya setuju atau tidak,” kata Kristi. Sebaliknya, jika suami yang ditugaskan ke luar kota, dia secara otomatis akan berpikir bahwa istrinya akan mengikuti ke mana pun ia pergi.

Contoh lain, bila seorang wanita divonis mandul, rasanya dianggap wajar bila suaminya lantas menceraikan dia, atau memutuskan untuk kawin lagi. Sebaliknya, bila sang suami yang mandul, sang istri justru diharapkan bisa memahami dan menerima keadaan suaminya apa adanya. Akibatnya, banyak wanita yang akhirnya menganut standar ganda. Di satu pihak, dia merasa diperlakukan tidak adil dan harus melawan (biasanya bila dia sendiri yang mengalami masalah), tapi di lain pihak dia ikut membenarkan pandangan umum –bila masalahnya terjadi pada wanita lain.

Selain itu, kata Kristi, wanita juga rentan terhadap persaingan dengan sesama wanita. “Ini seperti persaingan antar saudara (sibling rivalry). Secara tidak sadar seorang wanita kadang sulit menerima kelebihan dari teman wanitanya. Dan meskipun wanita senang menjalin persahabatan dengan sesama wanita, tujuannya lebih untuk memenuhi kebutuhan batinnya sendiri. Curhat belum tentu berarti care. Di belakang bisa saja dia justru menggosipkan atau malah menjelek-jelekkan sang sahabat,” papar Kristi.   http://www.pesona.co.id
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Belajar Bahasa Inggris

Arsip Artikel